5 Fakta Mandarin Duck, Unggas Lucu Simbol Romantisme dari Asia Timur

Aix galericulata—lebih dikenal sebagai mandarin duck—sering tampil di lukisan, porselen, dan motif pernikahan Asia Timur sebagai lambang cinta yang setia. Di balik citra romantisnya, ada serangkaian fakta ilmiah yang tak kalah menarik. Berikut lima di antaranya.


1) Simbol romantisme vs realitas biologi

Dalam budaya Tionghoa, pasangan bebek mandarin (yuānyāng) melambangkan kesetiaan. Secara biologi, mereka umumnya membentuk ikatan pasangan musiman (socially monogamous)—biasanya terbentuk di akhir musim gugur hingga awal musim semi—namun tidak selalu seumur hidup. Di alam, pasangan bisa berganti antar musim ketika kondisi berubah (kompetisi, ketersediaan pasangan, atau keberhasilan berbiak).

Intinya: simbolnya abadi, tetapi strategi kawin mereka adaptif dan pragmatis.


2) Warna spektakuler: gabungan pigmentasi & struktur

Jantan berpenampilan “wah”: jambul, garis mata putih tegas, dan “layar” oranye (bulu tertial yang tegak seperti layar perahu). Warna-warna cerah muncul dari pigmen (mis. karotenoid, melanin) dan pewarnaan struktural—susunan nanostruktur keratin pada bulu yang memanipulasi cahaya sehingga tampak berkilau. Usai musim kawin, jantan memasuki eclipse plumage, warnanya memudar mirip betina untuk kamuflase saat mabung.

Intinya: warna bukan sekadar cat alami—ada fisika optik bekerja di setiap helai bulu.


3) Arsitek lubang pohon & lompatan “nekat” anakan

Tidak seperti banyak bebek yang bersarang di tanah, mandarin duck bersarang di lubang pohon dekat air. Begitu menetas, anakan yang masih berbulu halus melompat dari ketinggian (bisa beberapa meter) mengikuti panggilan induk, lalu bergegas menuju air. Tubuh mungil mereka, bulu down yang empuk, serta permukaan tanah/serasah yang relatif lunak membantu menyerap benturan.

Intinya: strategi bersarang di ketinggian memberi perlindungan dari predator darat, dengan “ritual” lompatan sebagai harga masuk ke dunia luar.


4) Menu fleksibel & peran ekologis

Mandarin duck omnivora oportunis: biji-bijian (termasuk biji ek/“acorn” di musim gugur-musim dingin), padi liar, tunas/daun akuatik, serangga, moluska, hingga krustasea kecil. Dengan pola makan ini mereka turut menyebarkan biji dan mengontrol serangga air. Kebiasaan bertengger di pohon dan mencari makan saat senja/subuh membantu menghindari gangguan manusia dan predator.

Intinya: mereka adalah generalist feeder yang luwes mengikuti musim dan habitat.


5) Asal-usul, sebaran global, dan status konservasi

Asli Asia Timur (Tiongkok, Korea, Jepang, sebagian Rusia Timur Jauh), mandarin duck kini punya populasi liar introduksi di Eropa (termasuk Inggris) dan sebagian Amerika, kebanyakan berasal dari pelarian penangkaran. Secara global mereka umumnya dinilai berisiko rendah (populasi stabil di banyak tempat), tetapi fragmentasi habitat hutan riparian dan kehilangan lubang pohon tetap menjadi ancaman lokal.

Intinya: secara global relatif aman, namun kualitas habitat—terutama koridor sungai berhutan—menjadi kunci keberlanjutan.


Bonus: Cara mengamati secara etis

  • Jaga jarak, terutama saat musim berbiak.
  • Jangan memberi roti; lebih baik biarkan mereka mencari pakan alami.
  • Lindungi vegetasi tepi sungai dan pohon tua—rumah ideal bagi sarang mereka.

Kesimpulan:
Mandarin duck memadukan biologi unik (warna struktural, sarang di pohon, strategi makan fleksibel) dengan makna kultural yang kuat sebagai simbol romantisme. Memahaminya lewat lensa sains justru membuat kekaguman kita lebih beralasan—bukan hanya karena mereka indah, tetapi karena setiap warna, perilaku, dan pilihan habitatnya adalah hasil evolusi yang cermat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *