Enzo Maresca, pelatih anyar Chelsea, datang dengan segudang ekspektasi dan segelintir keraguan. Namun satu hal yang tak terbantahkan: ia adalah pelatih yang penuh observasi tajam dan pemikiran taktis mendalam. Dalam persiapan menuju musim baru, Maresca dikabarkan telah mempelajari berbagai klub elite Eropa sebagai langkah antisipasi Liga Champions—dan salah satu tim yang paling menarik perhatiannya adalah Paris Saint-Germain (PSG).
Maresca diyakini telah menemukan celah dalam sistem permainan tim asuhan Luis Enrique. PSG, yang kerap tampil dominan di Ligue 1, masih belum bisa lepas dari kritik soal ketidakseimbangan antara lini depan yang eksplosif dan pertahanan yang rentan. Maresca, yang gemar memainkan sistem berbasis penguasaan bola dengan transisi yang cepat, melihat bahwa kekuatan ofensif PSG sering kali mengorbankan struktur pertahanan mereka—terutama saat fullback mereka terlalu jauh maju dan ruang antar lini menjadi renggang.
Menurut sumber internal klub London Barat itu, Maresca menilai bahwa PSG kerap kewalahan menghadapi tim dengan pola pressing tinggi dan pergantian arah serangan yang cepat. Ia menunjuk pertandingan-pertandingan ketika PSG melawan tim seperti Newcastle United dan Borussia Dortmund musim lalu, di mana mereka sering terlihat panik ketika lawan menyerang balik dengan intensitas tinggi.
Salah satu strategi yang tengah diuji Maresca di sesi latihan Chelsea adalah penekanan terhadap build-up PSG dari belakang. Donnarumma yang dipercaya sebagai penjaga gawang utama, disebut-sebut masih belum sepenuhnya nyaman dalam memainkan bola pendek di bawah tekanan. Maresca meyakini, bila Chelsea bisa memaksa PSG melakukan kesalahan sejak lini pertama, mereka akan lebih mudah mengontrol ritme permainan.
Selain itu, Maresca juga memperhatikan kelemahan PSG dalam duel udara, terutama di momen-momen bola mati. Bek tengah mereka, meski bertalenta, kadang kurang disiplin dalam organisasi zonal marking. Di sinilah Maresca ingin anak asuhnya memanfaatkan keunggulan fisik seperti yang dimiliki Christopher Nkunku atau Benoît Badiashile.
Menariknya, pendekatan Maresca tidak hanya fokus pada aspek teknis dan taktis. Ia juga mengidentifikasi kelemahan psikologis PSG: tekanan besar untuk juara Eropa yang belum kunjung tercapai kerap membuat pemain mereka tampil gugup dalam laga besar. Maresca ingin memanfaatkan beban ekspektasi itu sebagai alat untuk membalikkan keadaan di momen-momen krusial.
Dengan pendekatan ini, bukan tidak mungkin Chelsea—yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami naik-turun performa—akan tampil lebih terstruktur dan berani melawan raksasa seperti PSG. Karena Maresca telah temukan kelemahan PSG, para pendukung Chelsea boleh jadi mulai membayangkan kejutan besar di Eropa. Dan bagi PSG, mungkin sudah saatnya waspada—karena seorang analis cerdas dari Inggris telah mengincar titik rapuh mereka.