Sebuah putusan pengadilan baru-baru ini menegaskan bahwa label atau reputasi seseorang sebagai “siswa cerdas” tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapus atau menggugurkan proses hukum yang sedang berjalan. Kasus ini mencuat setelah seorang mahasiswa, yang dikenal berprestasi akademik dan aktif di lingkungan kampus, menghadapi tuntutan hukum terkait unggahan daring yang dianggap melanggar hukum.
Latar Belakang Kasus
Mahasiswa tersebut sempat mengunggah sebuah postingan bertajuk Op Sindoor, yang kemudian memicu kontroversi dan dilaporkan ke pihak berwenang. Pasca mendapat tekanan, unggahan itu segera dihapus, dengan alasan bahwa postingan tersebut dibuat secara impulsif dan tanpa niat merugikan pihak mana pun.
Pihak pembela lantas berargumen bahwa terdakwa adalah seorang siswa berprestasi, aktif dalam kegiatan akademik maupun sosial, sehingga pantas diberikan keringanan dan bahkan pembebasan dari perkara.
Pertimbangan Pengadilan
Namun, pengadilan menolak dalih tersebut. Dalam putusannya, hakim menegaskan bahwa prestasi akademik, kecerdasan, atau status sosial seseorang tidak boleh menjadi tameng dalam proses hukum.
“Fakta bahwa terdakwa adalah seorang siswa yang cerdas dan berprestasi tidak bisa dijadikan alasan untuk meniadakan proses hukum. Hukum berlaku sama bagi semua warga tanpa memandang latar belakang akademik atau sosial,” demikian pertimbangan hakim.
Pengadilan juga menekankan bahwa tindakan menghapus unggahan setelah muncul kontroversi tidak serta-merta menghapus konsekuensi hukum dari perbuatan yang telah dilakukan.
Pesan Penting dari Putusan
Putusan ini menjadi pengingat penting bahwa kebebasan berekspresi, khususnya di ruang digital, harus disertai dengan tanggung jawab. Menghapus jejak digital bukan berarti menghapus dampak atau konsekuensi dari pernyataan yang sudah sempat dipublikasikan.
Selain itu, pengadilan menegaskan prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), di mana setiap orang – baik seorang siswa berprestasi, tokoh masyarakat, maupun warga biasa – tetap memiliki kewajiban yang sama untuk mematuhi aturan.
Penutup
Kasus Op Sindoor ini membuka diskursus lebih luas tentang batasan kebebasan berekspresi di era digital, serta pentingnya literasi hukum di kalangan generasi muda. Putusan pengadilan sekaligus menegaskan bahwa reputasi akademik bukanlah alasan untuk melindungi seseorang dari proses hukum, dan bahwa tanggung jawab atas tindakan – baik daring maupun luring – tetap melekat pada individu.